![]() |
Aliansi Mahasiswa/i dan Masyarakat Bima saat melakukan dialog dengan ketua dan Wakil Ketua DPRD Kab. Bima di halaman DPRD. |
Bima, - Aksi besar-besaran kembali menggema di Kabupaten dan Kota Bima. Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Bima yang terdiri dari berbagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (OKP) seperti SEMMI Cabang Bima, HMI MPO, GMNI, SMI, PMPK, GEPERMA, dan organisasi lainnya, turun ke jalan menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap sikap DPRD yang dinilai abai terhadap penderitaan rakyat.
Dalam aksi yang diikuti ratusan massa ini, aliansi mengajukan 16 tuntutan strategis, mulai dari penolakan kenaikan PPN 12%, penolakan kenaikan tunjangan DPR, desakan penyelesaian kasus malpraktik kesehatan korban Arumi, pemberantasan mafia gas LPG, penghentian represi aparat terhadap gerakan rakyat, hingga pencabutan UU TNI–Polri yang dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi sipil.
Ketua Umum SEMMI Cabang Bima, Hairul, menegaskan bahwa DPRD Kabupaten dan Kota Bima tidak boleh lagi berdiam diri. Menurutnya, jawaban DPRD dalam dialog singkat dengan perwakilan massa aksi hanya menunjukkan ketidakseriusan wakil rakyat dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya.
“Kami mendesak DPRD agar segera melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan seluruh pihak terkait: perwakilan aliansi, pihak pemerintah daerah, aparat penegak hukum, Bulog, pihak kesehatan, serta lembaga lain yang berhubungan dengan tuntutan rakyat. Jangan biarkan suara masyarakat hanya berhenti di jalanan tanpa solusi nyata,” tegasnya.
Ia menekankan, RDP adalah instrumen resmi DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi sebagaimana diatur dalam Pasal 365 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. DPRD wajib membuka ruang partisipasi rakyat dan memastikan aspirasi tidak diabaikan.
Dasar Hukum: Aspirasi Bukan Sekadar Teriakan Jalanan
Aliansi menegaskan bahwa 16 tuntutan mereka memiliki pijakan hukum yang jelas:
Penolakan PPN 12%: Bertentangan dengan semangat Pasal 23A UUD 1945, yang menegaskan pajak harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan membebani masyarakat kecil.
Hak Pendidikan: UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 ayat (1) menjamin setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.
Penyelesaian Pelanggaran HAM: UU Nomor 26 Tahun 2000 mengamanatkan negara menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
Pemberantasan Korupsi: Rekomendasi KPK agar disahkan UU Perampasan Aset, sesuai UNCAC 2003 yang diratifikasi lewat UU Nomor 7 Tahun 2006.
Transparansi DPR/DPRD: Pasal 71 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) menegaskan DPR/DPRD berkewajiban memperjuangkan aspirasi rakyat.
Dengan dasar ini, tuntutan aliansi bukanlah sekadar desakan emosional, melainkan perintah konstitusi yang harus dipatuhi oleh lembaga legislatif daerah.
Teguran Keras untuk DPRD
Aliansi menilai DPRD Kabupaten dan Kota Bima selama ini gagal menunjukkan keberpihakan nyata. Kasus mafia gas LPG yang merugikan rakyat kecil, kasus malpraktik kesehatan yang merenggut korban, hingga persoalan kenaikan pajak dan tunjangan DPR yang menambah beban rakyat, semua berlalu tanpa tindak lanjut serius dari DPRD.
“Apabila DPRD tidak segera merespons dengan langkah nyata melalui RDP terbuka dan melibatkan publik, maka rakyat akan menilai DPRD hanya alat kepentingan elit, bukan wakil rakyat. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin wacana pembubaran DPR/DPRD sebagaimana amanat Pasal 7A dan 7B UUD 1945 akan menjadi agenda perjuangan,” tegas Hairul di hadapan massa aksi.
Aksi Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Bima hari ini menjadi penanda bahwa rakyat tidak tinggal diam menghadapi ketidakadilan. 16 tuntutan yang disuarakan bukan hanya daftar masalah, tetapi refleksi nyata penderitaan rakyat Bima dan Indonesia secara umum.
Aliansi menegaskan, perjuangan akan terus berlanjut hingga DPRD membuka ruang partisipasi melalui RDP, mendengar langsung suara rakyat, dan memastikan setiap kebijakan berpihak pada kepentingan masyarakat.
“DPRD harus segera bertindak. Rakyat menunggu, sejarah mencatat.” tegasnya. (Red)